Liputan6.com, Jakarta - Menjelang pemberlakuan Masyarakat
Ekonomi Eropa (MEA), broker properti Indonesia harus berbenah. Jika
tidak, bisa saja pasar properti Tanah Air dikuasai broker properti asing
yang lebih profesional.
Sumber foto: bisnis.news.viva.co.id |
Demikian penuturan Hartono Sarwono, Ketua Umum AREBI (Asosiasi Real Estat Broker Indonesia) kepada RumahDotcom, Senin (14/12/2015).
“Saat ini, banyak broker properti kita yang belum profesional. Mereka
menjadikan broker properti sebagai pekerjaan sampingan. Umumnya mereka
adalah ibu rumah tangga atau berprofesi di bidang lain,” kata Hartono.
Guna mencetak broker profesional, maka dibentuklah AREBI pada 1992,
imbuh Hartono. “AREBI dibentuk dengan kesadaran bahwa broker properti
harus punya tiga hal: keahlian, profesionalisme, dan etika,” ujarnya.
Menurutnya, bisnis broker adalah bisnis kepercayaan. Jadi, transaksi yang dilakukan harus didasari informasi yang benar.
Hartono mengakui, saat ini banyak broker memasang iklan (listing)
dengan informasi yang tidak akurat, bahkan sengaja dibuat untuk
memancing calon konsumen menghubungi mereka kemudian di broker
menawarkan listing mereka yang lain.
“Hal ini tidak boleh lagi terjadi. Di Singapura, broker properti yang
memberi informasi yang tidak benar dalam listingnya bisa dituntut!”
tukas Hartono. “Di sini, hal semacam itu belum terjadi.”
Etika lain yang kerap dilanggar oleh broker, katanya, adalah
mengiklankan listing properti yang sebelumnya telah diiklankan broker
lain.
“Hal inilah yang menyebabkan kualitas listing—terutama listing
online—rendah. Broker sebagian menyembunyikan listing mereka karena
takut disabot broker lain,” kata Hartono.
Dia memaparkan, agar broker properti profesional, ada beberapa
persyaratan: pertama, dalam menjalankan profesi harus taat peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Regulasi ini dibuat pada dasarnya untuk
melindungi hak para broker.
“Tanpa perundang-undangan, dunia broker properti seperti hukum rimba.
Hal ini tentu akan menghancurkan bisnis broker dan merugikan konsumen,”
ungkap Hartono.
Sebagai contoh, perusahaan perantara perdagangan diharuskan memiliki
Surat Izin Usaha Perusahaan Perantara Perdagangan Properti (SIU-P4) yang
telah diundangkan oleh Menteri Perdagangan dan akan segera ditertibkan.
Syarat kedua, adalah standar profesi. Broker properti profesional harus punya standar profesi yang dibuktikan dengan sertifikat.
“Saat ini sudah ada 2.800 member broker yang mengikuti training
sertifikasi. Diharapkan, broker lain segera mengikuti,” kata Hartono
yang berharap Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Broker Properti bisa
beroperasi pada awal 2016.
“Broker profesional harus punya kode etik. Tanpa kode etik, akan
seperti hukum rimba. Broker juga harus taat hukum, membayar pajak,
memenuhi standar profesi, berkomitmen dengan kejujuran, saling
menghormati sesama rekan seprofesi dan developer,” pungkas Hartono.(Nrm)
0 komentar:
Posting Komentar